Pindahan itu kelihatannya gampang, saking gampangnya pas dijalanin ternyata drama dan bikin Masya Allah. Aku mau cerita gimana susahnya pindah dari Jakarta ke Surabaya, lengkap sama perjuangan packing, perjalanan yang bikin Astaghfirullah, sampai kejadian refleksi yang pada akhirnya ngajarin aku buat sabar, ikhlas, dan pasrah :) Lagi-lagi dikasih pelajaran sama Allah.
Senin
Hari-hari terakhirku di Jakarta ternyata jauh lebih melelahkan dari yang kupikirkan. Awalnya aku kira tiga jam cukup untuk packing malam itu, tapi kenyataannya malah berlanjut sampai pagi. Saking capeknya, aku malah tidur sementara packing-an belum selesai. Keesokan harinya, aku harus packing sambil kerja di kos. Rencanaku bisa selesai hari itu dan kirim barang Selasa atau Rabu, tapi ternyata harus selesai hari itu juga.
Senin itu aku dapat info kalau Selasa harus ke beberapa tempat, termasuk UI seharian, yang tentu gak memungkinkan aku kirim barang hari itu. Jadi aku memaksa diri menyelesaikan semuanya Senin.
Perjalanan itu dimulai dari sebuah luka kecil di ujung jariku yang berdarah. Mas-mas ekspedisi yang akan datang mengeluh via WA karena kesal harus mengangkut banyak barang sendiri. Saking kesalnya, sementara menunggu dia datang, aku gotong sendiri packinganku dari lantai 2 ke lantai 1 lewat tangga yang berliku. Enam kardus besar dan berat itu aku angkat sendiri, walau ujung jari tengah berdarah dan aku cuma lilit tisu dengan karet agar darah gak ngalir deras.
Aku bawa kardus itu dengan gaya “kuli perak”, seperti kuli pelabuhan yang manggul barang dengan punggung. Punggungku jadi sedikit kaku, tapi aku coba abaikan rasa capek itu. Malah aku merasa bangga, ototku kuat dan kayak habis nge-gym selama 20 menit. Akhirnya mas ekspedisi datang sore itu, dia juga gak tahu kalau kardus itu diangkat dari lantai 2. Aku bantu angkat beberapa kardus yang lebih ringan supaya lebih mudah diangkut ke mobil pickup. Setelah semuanya selesai, tentu aku kasih tip seperti yang ku niatkan. Aku pun melupakan kejadian itu sore itu.
Selanjutnya ada sepeda ontel yang kutitipkan ke seseorang di Jakarta. Selain supaya dia bisa pakai, aku juga gak mau ongkos kirim jadi mahal kalau harus kirim sepeda bareng packingan. Harapanku tentu semoga aku kembali ke Jakarta lagi. Di Surabaya sepeda itu juga gak kepakai, jadi kutitipkan pada seseorang biar ia gunakan :)
Selasa
Aku habiskan sepanjang hari di jalan dan dinas bersama atasan. Aku sedikit menangkap suasana positif, berharap pertemuan dengan partner di gedung daerah Pancoran bisa membawaku kembali ke Jakarta lagi.
Sampai juga di UI. Setelah agenda di UI selesai, aku berjalan sendirian menuju danau yang ternyata jauh sekali. Aku lupa kalau UI itu luas banget. Sampai di Danau Kenanga, aku menikmati sunset sendirian. Terbayang kembali kehadiranku beberapa waktu lalu di sini, aku duduk sambil memandang langit, berharap sore itu menjadi plot twist, tapi ternyata sepertinya Allah belum menggerakkan hati.
Setelah itu aku berjalan lagi menuju Masjid UI, salah satu destinasi yang seharusnya kukunjungi beberapa waktu lalu. Aku berada di sana sampai menjelang Isya, lalu berjalan ke stasiun Pondok Cina.
Dalam perjalanan pulang dari Pondok Cina, aku tiba-tiba ingin berhenti di Tanjung Barat malam itu. Aku mampir ke AEON, beli beberapa bakery kesukaanku, chocochips dan ayam. Tanpa sadar, aku mengeluarkan hampir 200 ribu dalam satu menit. Tapi aku pikir, mungkin akan lama aku gak bisa menikmati makanan favoritku di sini, karena AEON di Surabaya katanya baru buka akhir tahun.
Rabu
Drama dimulai di hari Rabu. Aku terlambat bangun dan masih banyak barang sisa pindahan yang harus kuselesaikan. Tas punggungku berisi dua laptop dan printilan lain terasa berat, plus tas bahu, tas selempang dada, tas jinjing, beauty case koper 10 inch, dan yang paling berat koper 24 inch. Ketika turun tangga, roda koper itu pecah. Aku mulai merasakan sesuatu yang kurang nyaman.
Pagi itu juga booking GrabCar penuh drama. Aku lupa ini Jakarta, macetnya parah, dan pesan GrabCar jadi lama. Perjalanan dari Cipete ke Pasar Senen sebenarnya gak sebentar, tapi aku berharap bisa tiba paling lambat 5-10 menit sebelum jam 9:30 pagi, karena kereta Serayu yang mau aku naiki berangkat pukul itu.
Akhirnya, jam 9:20 aku bilang ke supir Grab untuk muter ke Gambir, meski perjalanan juga macet. Aku pasrah dan mulai menyusun plan B. Cek aplikasi KAI, ternyata naik dari Gambir lebih mahal dan harus pakai jasa porter. Belum lagi kereta ke Cipendeuy sudah habis untuk hari itu. Harus dari Gambir dan aku harus siap keluar banyak biaya ekstra.
Namun perjalanan tidak semulus harapan, dan aku baru sampai di Gambir jam 9:45. Sebenarnya ini sudah sangat mepet, tapi untungnya tiket masih tersedia dan aku bisa naik kereta tersebut.
Step satu tuntas, aku lega.
Selama dua jam perjalanan kereta
Aku mulai mikirin langkah selanjutnya. Ternyata aku nyasar ke Bandung, padahal gak ada rencana ke sana. Awalnya aku janjian dijemput di Cipendeuy, tapi sekarang harus minta tolong teteh jemput di Bandung. Syukurlah dia bisa. Sambil nunggu, aku cari koper dan tas gede lewat Shopee yang harus bisa dikirim sebelum aku sampai Bandung, ke tempat penitipan loker. Beruntung sebelumnya aku sudah chat tempat penitipan itu, mereka baik hati banget, makasih ya, Aa.
Sesampai di Bandung, aku minta tolong jasa porter buat cari loker penitipan tas. Awalnya agak ribet karena lokasinya ternyata lumayan jauh, kalcer shock bahasa lagi yang harus berubah sunda seketika, karena di kota sebelumnya aku terbiasa bahasa gaul kaya “Bang”, “Kagak”, “Loe” dan lain-lain, tapi begitu sampai Bandung otomatis harus kuuasai aksen Sunda, setidaknya tiga kata wajib: “Punten”, “Nuhun”, dan “Kumaha Naon.” Harga sewanya cuma 10 ribu per item. Aku titip koper dan tas besar, bawa barang printilan dalam satu wadah supaya lebih murah.
Setelah itu aku mulai jalan-jalan di Bandung. Dari stasiun aku menuju cuanki viral yang sudah kusempat saved di Google. Lanjut ke Asia Afrika buat makan ayam seharga 50 ribu, dan ternyata gak seenak yang dipromokan influencer food vlogger, tapi ya sudah, namanya juga coba-coba. Setidaknya aku berhasil capai 10 ribu langkah di Strava!
Apakah aku ke Braga atau tempat lain? Gak gais, aku gak ada niatan apa-apa di Bandung kecuali kalau ada kunjungan malam Bosscha. Beruntung, ada Masjid Salman ITB, tempat favoritku.
Sore itu aku ke Masjid Salman ITB. Karena sebelumnya aku jalan kaki sambil bawa dua laptop, tas bahu, dan tas dada, jadi keringetan banget. Akhirnya aku mandi di masjid, segar pol! Suasana jadi syahdu karena Bandung. Hujan turun selepas shalat, seolah menutup hari yang menegangkan dengan “YA UDAH GPP” tertutup syahdu Bandung di Masjid Salman sore itu :)
Lanjut bagian 2...
Komentar
Posting Komentar
Suwon wes komen